Workshop Penyempurnaan Draft Peta Jalan Perlindungan Anak di Ranah Daring

Sensus penduduk yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) sepanjang bulan Februari-September 2020, jumlah penduduk Indonesia di dominasi oleh usia muda. Jumlah generasi Z (kelahiran 1997-2012) mencapai 75,49 juta jiwa atau setara dengan 27,94 persen dari total seluruh populasi penduduk di Indonesia atau berusia antara 8 sampai 23 tahun. Dimana sebagian besarnya adalah usia Anak.

Tantangan di era digital membuat kita harus memikirkan keselamatan anak-anak di ranah daring baik saat mereka terhubung dengan internet maupun tidak. Ekosistem digital di Indonesia masih harus ditingkatkan dalam upaya perlindungan anak di ranah daring. Dalam Indeks ITU 2020, Indonesia dinyatakan berada pada posisi 41 dari 178 negara mengenai keamanan digital. Dimana salah satu indikatornya menyebutkan upaya perlindungan anak di Indonesia belum bisa terpenuhi dengan baik, karena sampai saat ini dokumen negara dalam upaya perlindungan anak di ranah daring belum tersedia.

Upaya menuju perlindungan anak di ranah daring telah dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika di tahun 2017 dengan mengeluarkan sebuah pengantar Peta jalan Perlindungan Anak di Ranah daring, yang kemudian dilanjutkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di tahun 2020 dengan Menyusun Peta jalan Perlindungan Anak di ranah daring yang ditujukan untuk menjadi Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Berbicara mengenai dampak internet pada anak, ada banyak sekali kerentanan anak dalam situasi digital, seperti yang diproyeksikan oleh Dr. Ahmad Sofian, S.H., M.A. Menurutnya, kasus pidana pada masa yang akan datang tidak lagi menyoal tentang Narkotika, melainkan kasus-kasus yang akan muncul salah satunya seperti kasus bullying secara daring yang banyak bermunculan ditengah era digital seperti saat ini. Tidak selesai sampai disitu, adiksi gawai maupun internet, serta paparan pornografi juga menjadi masalah yang serius apabila tidak ada standar kebijakan yang mengatur secara luas dan komprehensif mengenai internet yang ramah bagi anak.

Disrupsi Teknologi dan Perubahan Kehidupan Bermasyarakat

Hadirnya teknologi digital terjadi karena adanya inovasi dan perubahan besar-besaran secara fundamental. Seperti halnya di era digital seperti saat ini, bahwa seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali dengan sangat cepat dan mudah dalam mengakses internet dan memperoleh informasi tanpa ada batasan, termasuk dalam hal ini anak.

Menurut Dr. Ir. Bonifasious Wahyu Pudjianto M. Eng., Direktur Pemberdayaan Informatika mengatakan bahwa kecanggihan pada gawai dan internet saat ini menjadi daya tarik bagi anak untuk berekspresi dan kemudahan dalam mengakses pelbagai informasi, tidak terkecuali informasi yang memuat unsur pornografi. Tidak adanya batasan antara ruang dan waktu dalam mengakses internet  faktanya telah menimbulkan persoalan yang serius dan berbahaya pada anak seperti masalah Hoax dan Cyberbully (perundungan secara online).

Secara substansif, masalah tersebut diatas merupakan telah menjadi masalah besar yang dihadapi anak-anak saat berselancar diinternet. Dampak negatif dari hoax atau berita bohong adalah munculnya rasa saling curiga, sikap tak percaya, intoleransi, bahkan kebencian terhadap pihak atau kelompok tertentu. Usia muda dengan kemampuan mengolah informasi yang masih terbatas berpotensi membuat anak dan remaja mudah terpapar efek buruk dari hoaks.

Sementara itu, selain mengisolasi diri, salah satu dampak cyberbullying bagi anak adalah munculnya kebiasaan merugikan, seperti merokok, konsumsi alkohol, dan narkoba. Anak juga bisa memiliki kebiasaan buruk lain, seperti tidak bertanggung jawab dengan tugas di sekolah atau bolos dari sekolah, bersikap membangkang pada guru, dan sebagainya

Kerentanan Data Pribadi Anak di Internet

Tidak cukup sampai disitu, persoalan mengenai data privasi anak tersebar dengan cepat dan luas di internet juga menjadi masalah dan memiliki dampak yang sangat serius. Perwakilan SAFENET, Ellen Kusuma merangkum jenis-jenis dampak-dampak internet pada anak, yakni dengan istilah KBGO (Kekerasan Berbasis Gender Online dan KBGS (Kekerasan Berbasis Gender Siber). Pada prinsipnya, Kekerasan Berbasis Gender Online maupun Kekerasan Berbasis Gender Siber memiliki beragam bentuk, mulai dari eksploitasi seksual à sextortion, hingga konten intim seksual

Selain itu, adanya hambatan dalam hal aksesibilitas bagi penyandang disabilitas maupun anak dengan disabilitas dalam literasi digital juga menjadi masalah serius bagi mereka. Seperti halnya istilah Doxing, adiksi gawai, serta tekanan digital menjadi sesuatu yang “sumir” bagi mereka, karena secara kosakata bahasa isyarat belum ada dan menyulitkan mereka untuk memahami kondisi-kondisi rentan yang dialaminya.

Upaya Perlindungan Data Pribadi pada Anak

Proses penyusunan Drat Peta jalan Perlindungan Anak di Ranah Daring sudah mencapai tahap akhir dan saat ini menuju upaya untuk penyusunan Peraturan Menteri tentang Peta jalan tersebut. Tentunya upaya melindungi anak dari bahaya internet menjadi kebutuhan yang sangat penting, terlebih sejak awal tahun 2020 hingga saat ini pandemi Covid-19 yang terjadi di banyak negara termasuk di Indonesia memaksa kita beraktifitas secara daring guna menghindari pertemuan langsung dalam memutus penyebaran Covid-19. Sebagian besar masyarakat Indonesia bahkan dunia melakukan aktifitas secara online lebih sering, hal ini juga menimbulkan situasi kerentanan yang dimiliki oleh anak.

Selain itu, di era digital saat ini menjadi tanggung jawab bersama, antara orang tua dan keluarga dalam melakukan Parental Control / Pengawasan orang tua melalui Google Family Link. Hal ini diupayakan guna meminimalisir timbulnya eksploitasi seksual pada anak. Adapun Rancangan Intruksi Presiden (INPRES) yang tengah digaungkan sebagai bentuk respon pemerintah dalam menanggulangi permasalahan internet yang tidak ramah bagi anak ialah:  mengurangi kesenjangan, khususnya gender; penguatan dan pemanfaatan teknologi digital; membangun imunitas secara digital; serta meningkatkan ekonomi ditengah pandemi

Penulis: Ade Hilman Maulana, S.Sos.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *