Training of Facilitator di Makassar

Makassar – Pada tanggal 19-22 Januari 2017, Saya mewakili KOMPAK Jakarta bersama tim Youth Network on Violence against Children (YNVAC), yakni Jojo perwakilan Aliansi Remaja Independen (ARI), Ravio perwakilan Action!, dan Ellen berangkat ke Makassar untuk melaksanakan Focus Group Discussion (FGD) dan Workshop mengenai permasalahan kekerasan terhadap anak. Perjalanan Jakarta – Makassar ditempuh selama dua jam, dan akhirnya kami tiba di hotel Best Western Makassar. Setelah berisitirahat sejenak, kami kemudian memulai kegiatan pada pukul 12.30 dengan agenda pertama, yaitu FGD.

Pada hari pertama, peserta FGD dan workshop dibagi menjadi dua kelompok dan didampingi dua orang fasilitator pada tiap kelompoknya. Dalam FGD tersebut, kami mencoba menggali informasi lebih dalam mengenai kekerasan terhadap anak di Makassar, setiap peserta juga memiliki pandangan masing-masing mengenai kekerasan terhadap anak. Namun yang membuat saya terkejut adalah, beberapa peserta masih menganggap kekerasan terhadap anak bukanlah sebuah permasalahan, karena hal tersebut kerap kali terjadi di lingkungan mereka dan dianggap sebuah kewajaran oleh masyarakat, terutama kekerasan terhadap anak di dalam keluarga.

Mereka masih beranggapan bahwa kekerasan terhadap anak boleh dilakukan dengan maksud dan tujuan untuk mendisiplinkan sang anak. Tentunya hal ini membuat saya sedikit panik, namun hal ini saya jadikan sebuah tantangan. Saya pikir akan cukup sulit unttuk mengubah pandangan mereka mengenai hal ini karena hal tersebut sudah menjadi sebuah budaya dan sudah dikonstruksi oleh masyarakat sehingga mengubah pandangan mereka hanya dalam empat hari tentunya bukanlah hal yang mudah. Pada hari itu kami berempat cukup kebingungan dengan hasil FGD yang kami peroleh, sehingga kamu putuskan untuk melakukan koordinasi terlebih dahulu dengan tim YNVAC lainnya untuk mengubah agenda FGD di hari terakhir.

Hari kedua berjalan lancar. Perlahan-lahan kami mulai mencoba membuka pikiran peserta yang sebelumnya menganggap bahwa kekerasan boleh dilakukan agar mereka mulai mengubah persepsi tersebut. Ellen memberikan materi mengenai hak-hak anak. Kami kemudian mendapat tanggapan dari peserta, bahwa hal tersebut sangat membantu mereka, karena ternyata beberapa peserta terutama yang masih usia anak tidak mengetahui bahwa ternyata mereka memiliki hak-hak yang harus dipenuhi oleh negara.

Selanjutnya, saya memberikan materi mengenai kekerasan terhadap anak secara umum, saya juga menunjukan beberapa gambar yang berisi perbandingan otak anak yang tidak mengalami kekerasan dan yang mengalami kekerasan. Seluruh peserta sangat antusias terhadap tema yang disampaikan, karena mereka tidak mengetahui bahwa kekerasan ternyata berdampak pada otak anak. Saya bersama Ravio  juga memutarkan beberapa video eksperimen sosial yang mengindikasikan bahwa ternyata masyarakat cenderung “ikut-ikutan” atau disebut konformitas. Hubungan antara konformitas dengan kekerasan terhadap anak, yakni orang cenderung untuk melakukan kekerasan karena orang lain juga melakukan hal tersebut, hingga hal tersebut menjadi wajar. Hal lain yang dapat dikaitkan dari video tersebut, yakni anak yang mendapat kekerasan akan cenderung untuk mengulangi kekerasan di kemudian hari atau setelah dewasa nantinya, dengan demikian kekerasan menjadi sebuah siklus atau lingkaran setan yang sulit untuk diputuskan.

Hari ketiga kami memberikan materi mengenai Youth Advocacy dan Community Networking, serta menganalisis kasus kekerasan yang diberikan oleh fasilitator. Pada sesi ini peserta tidak hanya duduk dan diam mendengarkan fasilitator, namun aktif dalam mengemukakan pendapat dan mempresentasikan hasil diskusi mereka. Pada analisis kasus kekerasan, metode yang digunakan adalah permainan jaring laba-laba, di mana terdapat satu orang peserta yang bersedia menjadi korban kekerasan seperti dalam kasus yang kami berikan. Peserta lain kemudian diminta mengidentifikasikan masalah, penyebab masalah, dan solusi untuk masalah tersebut. Setelah mengindentifikasi masalah, kemudian mereka mengelompokan masalah tersebut dalam lapisan sistem dengan metode ecological framework. Metode ini digunakan agar peserta mengetahui masalah, penyebab, dan solusi pada setiap lapisan sistem (mikro, mezzo, dan makro) dan kemudian peserta dapat mengetahui nantinya langkah advokasi apa yang dapat mereka lakukan sebagai orang muda agar tepat sasaran dan berjalan efektif.

Pada hari terakhir, kami memfasilitasi peserta dalam strategic planning, yakni mengenai rencana lanjutan yang mau mereka lakukan sebagai output dari FGD dan workshop yang telah mereka ikuti. Peserta banyak berdiskusi mengenai isu apa yang akan mereka bawa serta gambaran kegiatan apa yang akan mereka lakukan mengenai isu yang mereka bawa. Peserta juga berencana untuk mengadakan pertemuan atau rapat rutin setelah kegiatan ini untuk membahas hal tersebut.

Dengan berbagai tantangan yang saya hadapi dalam melaksanakan FGD dan workshop ini, saya merasa hal ini cukup berpengaruh bagi para peserta. Saya juga sebagai fasilitator belajar banyak dari peserta, terutama informasi yang mereka miliki mengenai kasus kekerasan yang terjadi di Makassar, serta pandangan mereka mengenai kekerasan terhadap anak. Saya merasa senang dan bersyukur karena saya yang awalnya sedikit khawatir mengenai beberapa pendapat mereka yang pro dengan kekerasan terhadap anak  dapat berubah, ternyata kekhawatiran saya tidak tepat. Bahkan ada satu peserta yang saat itu tengah menginisiasi kegiatan yang menjurus kea rah kekerasan pada pada adik kelas di komunitasnya, dia menjadi bimbang karena seniornya serta teman-temannya menggunakan kekerasan dalam kegiatan inisiasi tersebut, sedangkan ia baru saja mengetahui bahaya kekerasan terhadap anak dari workshop ini. Ia menjadi bimbang dan mencoba untuk tidak melakukan kekerasan pada juniornya seperti yang lain lakukan. Hal ini cukup menyentuh saya karena ternyata peserta mulai mengubah persepsinya mengenai kekerasan terhadap anak dan mulai menentukan sikap mereka terhadap hal tersebut.

Secara keseluruhan saya puas dan senang dengan antusiasme serta keaktifan peserta selama empat hari itu. Saya juga berharap peserta dapat melaksanakan dengan baik kegiatan lanjutan yang sedang mereka rencanakan, saya juga berharap mereka dapat membagi pengetahuan dan informasi yang mereka dapatkan dari workshop ini kepada teman, keluarga dan yang lain, agar semakin banyak orang yang peka terhadap isu kekerasan terhadap anak dan menolak dengan keras kekerasan terhadap anak dalam bentuk atau untuk tujuan apapun.

Evita Fajiratur R

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *