Situasi Anak dalam Situasi Kebencanaan, Telaah Kritis terhadap Bencana Alam dan Pandemi COVID-19

Jakarta, 27 Juni 2021 – KOMPAK Jakarta menyelenggarakan Diskusi Kompak Ceria, kegiatan ini dilakukan dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan menumbuhkan nalar kritis anggota KOMPAK Jakarta mengenai eksploitasi seksual anak dalam situasi bencana, yang dilaksanakan secara online melalui zoom meeting. KOMPAK Jakarta juga turut mengundang komunitas orang muda lainnya untuk berdiskusi bersama di antaranya Pemuda Pemutus Solo, PKPA Medan, dan GAGAS Lombok. Diskusi ini membahas kekerasan berbasis gender yang potensial terjadi saat situasi kebencanaan di antaranya kekerasan dan eksploitasi seksual, pernikahan anak, perdagangan anak untuk tujuan seksual, hingga kekerasan domestik; yang disampaikan oleh Andi Atissa Puti Chaniago (Mercy Corps Indonesia).

Selama berlangsungnya diskusi, dijelaskan bahwa semua orang yang terdampak bencana, berada dalam situasi rentan atau juga disebut sebagai penyintas (survivor). Tissa juga memaparkan bahwa situasi dapat lebih sulit bagi anak-anak yang terdampak bencana apabila mereka adalah anak perempuan, penyandang disabilitas, dari keluarga kurang mampu, atau bahkan bagian dari kelompok minoritas di daerah tersebut. Pada dasarnya, kelompok penyintas anak-anak berada dalam posisi yang lebih tidak diuntungkan ketika terjadi bencana. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya, kemungkinan terpisah dari keluarga, terpapar kerentanan berlipat ganda, terpaksa menjadi pengungsi (Internally Displaced Persons/IDP) dan berpindah, hingga terkendala dalam mengakses pelayanan perlindungan anak. Hal ini membuka peluang bagi para pelaku eksploitasi seksual anak untuk memanfaatkan situasi.

Dalam diskusi, Tissa menyampaikan pentingnya bagi aktivis kebencanaan maupun relawan untuk memperhatikan guideline standar minimum dalam beraktivitas terutama dalam perlindungan anak dalam situasi bencana, yakni; 1] SPHERE – orang yang memiliki dampak dalam situasi kebencanaan berhak untuk mendapatkan bantuan dan kehidupan yang bermartabat dan segala upaya harus dilakukan untuk meringankan penderitaan manusia, 2] CPMS (Child Protection Minimum Standart) – panduan standard minimum perlindungan anak yang harus diperhatikan saat merespons situasi kebencanaan, dan 3] Konvensi Hak Anak.  Salah satu contohnya yakni penyediaan ruang terpisah untuk mengganti baju, menyusui, dan aktivitas pribadi lain bagi perempuan dan anak-anak yang terkadang luput dari perhatian. Tempat distribusi bantuan yang terorganisir juga diperlukan agar tidak terjadi kericuhan saat pembagian bantuan. Hal ini untuk memastikan anak beserta orangtua/pendampingnya tidak terpisah dalam kerumunan yang berdesakan.

Adapun hal lainnya yang perlu diperhatikan saat situasi kebencanaan adalah fasilitas dasar yang memadai dan mekanisme pelaporan yang ramah anak, relawan kebencanaan yang melalui pendataan dan menjalani pelatihan safeguarding, hingga pelibatan anak dan orang muda dalam sistem perlindungan anak dan orang muda.

Sementara itu, situasi pandemi yang saat ini melanda Indonesia makin menempatkan anak-anak dalam posisi rentan dan hak-hak anak terpinggirkan. Mengutip data dari Ikatan Dokter Indonesia (IDAI), tingkat kematian (case mortality) COVID-19 terhadap anak-anak Indonesia adalah yang tertinggi di dunia yakni mencapai 3-5 persen. Pengabaian dan pembiaran terhadap kesehatan anak di masa pandemi masih terjadi karena sering kali gejala COVID-19 pada anak mirip dengan demam biasa. Selain itu, masih kurang tanggapnya orangtua membuat gejala ini kadang diperlakukan seperti penyakit biasa dan tidak mendapat penanganan semestinya. Pandemi COVID-19 sangat berdampak pada anak-anak sehingga semua pihak harus fokus pada isu penyelamatan anak mulai dari pencegahan, penanganan, dan pemulihan dimulai dari keluarga, lembaga pendidikan, dan unsur lainnya.

Penulis : Fitria Wulandari Omnif dan Salsya Putri A. N.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *