Hallo Teman Muda!
Pada 7 Juni 2022, KOMPAK Jakarta mengikuti Workshop Nasional yang diselenggarakan oleh ECPAT Indonesia bekerjasama dengan ECPAT Internasional.
Kalian tau gak sih, semakin mudahnya akses perjalanan dari satu negara ke negara lain berdampak pada berkembangnya sektor pariwisata di Indonesia yang membuat beragamnya paket atau jenis-jenis perjalanan yang ditawarkan oleh agen wisata. Salah satu jenis perjalanan yang ditawarkan adalah “social trip”. Social trip merupakan sebuah kegiatan perjalanan yang di desain untuk mengunjungi lembaga perlindungan kesejahteraan anak seperti panti asuhan, lembaga pendidikan dll. Dalam kata lain segala bentuk perjalanan untuk misi sosial, kerelawanan ini juga ditemukan pada lingkup domestik, yaitu dari satu kota ke kota lainnya atau dari satu provinsi ke provinsi lainnya.
Resiko dari perjalanan wisata dan juga social trip adalah dimanfaatkannya kunjungan sosial sebagai relawan oleh predator seksual untuk melakukan eksploitasi seksual terhadap anak. Kerentanan ini dapat terlihat dari beberapa contoh misalnya seperti:
- Tahun 2013, Pelatih sepak bola melakukan kekerasan seksual kepada 6 anak didiknya di Bangka Belitung.
- Tahun 2016, Relawan Australia divonis 15 tahun penjara karena melakukan kekerasan seksual terhadap 10 anak di Bali
- Tahun 2017, Fasilitator anak melakukan kekerasan seksual terhadap lebih dari 1 orang anak di Kalimantan Timur
- Tahun 2020, Kasus kekerasan seksual terhadap 3 orang anak di panti asuhan oleh Bruder Angelo di Depok
- Tahun 2020, Anak korban kekerasan seksual yang direhabilitasi di P2TP2A menjadi korban eksploitasi seksual untuk kedua kali oleh petugas P2TP2A di Lampung Timur[1]
- Tahun 2021, Pelatih sepak bola melakukan kekerasan seksual kepada 4 anak didiknya di Tanjung Jabung Barat, Jambi
- Tahun 2022, Relawan pelatih sepak bola melakukan kekerasan seksual pada 7 anak didiknya di Brebes
Woah, ngeri banget ya kerentanan anak di sektor pariwisata ini untuk mendapatkan kejahatan seksual.
Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasi Konvensi Hak Anak melalui Perpres No.36 Tahun 1990 dan juga telah mengundangkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak serta Undang-Undang No 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual tentu harus melihat keberadaan kasus-kasus eksploitasi seksual anak yang disebabkan oleh orang-orang yang berwisata untuk tujuan sosial, yang menjadi relawan atau bekerja berinteraksi dengan anak-anak mendesak untuk dicegah dan ditangani.
Pencegahan itu dapat dilakukan melalui dua tahap, perjalanan social trip dari mancanegara dan perjalanan social trip domestik. Perjalanan social trip dari mancanegara melalui visa sosial budaya harus memperketat syarat-syarat kelengkapan dan melakukan penambahan syarat khusus pada kunjungan relawan atau pekerjaan yang akan berinteraksi dengan anak-anak, salah satunya melalui background cek calon penerima visa, hal ini karena penerbitan visa sosial budaya masih memiliki beberapa catatan, misalnya:
- Belum adanya syarat melampirkan surat keterangan kepolisian dari negara setempat dalam memohon penerbitan visa sosial budaya sebagaimana syarat yang harus dipenuhi dalam kepengurusan surat ijin tinggal terbatas (Kitas)
- Belum ada mekanisme monitoring visa sosial budaya yang disalah gunakan untuk kepentingan kegiatan wisata dan lainnya.
- Dalam mendapatkan visa sosial budaya, imigrasi tidak melakukan wawancara atau verifikasi terhadap lembaga tujuan relawan di Indonesia
Selain kelemahan tersebut, ditemukan adanya peluang penyalahgunaan visa kunjungan wisata (visa on arrival) yang digunakan untuk menjadi relawan atau mengajar secara sukarela di lembaga kursus bahasa asing di wilayah Balikpapan. Penyalahgunaan ini cukup menggelisahkan mengingat selama mulai dari 13 Oktober 2021 hingga Februari 2022 Ditjen Imigrasi telah menerbitkan sebanyak 338 visa dengan tujuan kunjungan wisata. Ditambah lagi adanya data statistik yang menyebutkan bahwa per Desember 2021 tercatat 163 ribu kunjungan wisatawan ke Indonesia.
Kecurangan penggunaan visa ini merupakan tanggungjawab multi pihak, tidak hanya pemerintah namun juga Lembaga Sosial yang memberikan rekomendasi untuk menerima relawan atau social trip dan juga pihak travel agent.
Pencegahan kedua adalah pada social trip yang terjadi di lingkup domestik, yaitu seseorang yang magang atau menjadi relawan pada kegiatan sosial antar daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota, dimana dalam kegiatan tersebut selama ini menggunakan Surat Keterangan Catatan Kriminal (SKCK) sebagai syarat untuk mendaftar, namun penerbitan SKCK memiliki beberapa kelemahan yaitu:
- Belum dibedakannya syarat penerbitan SKCK yang diperuntukkan untuk bekerja di perusahaan profit dengan Lembaga Sosial (relawan) di Lembaga Pendidikan, Panti Asuhan, Lembaga Perlindungan Anak, dll.
Maka dari itu, KOMPAK Jakarta harus menerapkan adanya sistem dan kebijakan yang baik agar tidak terjadinya kerentanan anak berada dalam situasi ESA.
Mari kita lindungi teman, sahabat, dan orang yang kita sayangi di sekitar kita.
Lindungi Anak, Perangi ESA!