Pelatihan Penguatan Kapasitas Manajemen Kasus

Permasalahan kekerasan maupun eksploitasi seksual pada anak selalu menjadi perbincangan serius dan masih diperlukan upaya untuk bisa mengakhirinya. Penanganannya tidak hanya sebatas pada pemerintah pusat, namun pemerintah daerah bersama masyarakat juga memiliki andil yang cukup besar dalam memberikan perlindungan pada anak sebagai korban eksploitasi seksual.

Seperti yang kita tahu, bahwa selama masa pandemi, kasus eksploitasi seksual pada anak kian meningkat. Hal ini ditandai dengan data yang diperoleh dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (SIMFONI PPPA), terdapat 9.428 kasus kekerasan terhadap anak pada rentang Januari sampai dengan September 2021. Rinciannya, kekerasan fisik 2.274 kasus, psikis 2.332 kasus, seksual 5.628 kasus, eksploitasi 165 kasus, TPPO 256 kasus, penelantaran 652 kasus, dan kekerasan lainnya sebanyak 1.270 kasus.

Sementara pada tahun 2020, terdapat 11.278 kasus kekerasan terhadap anak. Jumlah itu terdiri dari 2.900 kasus kekerasan fisik, 2.737 kasus kekerasan psikis, 6.980 kasus kekerasan seksual, 133 kasus eksploitasi, 213 kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO), 864 kasus penelantaran, dan kasus kekerasan lainnya sebanyak 1.121. Dari data diatas, dapat disimpulkan bahwa terdapat peningkatan jumlah kasus eksploitasi seksual selama masa pandemic covid-19.

Maraknya kasus ESA selama masa pandemic covid-19, memerlukan penanganan kasus yang terintegrasi, khususnya bagi LSM yang memberikan pelayanan baik secara preventif, promotif, maupun rehabilitatif. ECPAT Indonesia melalui Program Down to Zero, menyelenggarakan Pelatihan Penguatan Kapasitas Manajemen Kasus Untuk LSM dan mengusung tema “Down to Zero Building Back Better in Times of Covid-19 Pandemic”. Kegiatan tersebut dilaksanakan pada tanggal 23-25 November 2021 di GG House, Gadog-Puncak, Jawa Barat.

Melalui kegiatan tersebut, hadir sejumlah LSM yang menjadi mitra ECPAT Indonesia. Selama pelatihan tersebut, menghadirkan narasumber, yaitu Vitria Lazzarini, M.Psi., (Psikolog Klinis UPTD P2TP2A DKI Jakarta), Dr. Ahmad Sofian, S.H., M.A., (Koordinator Nasional ECPAT Indonesia), Rio Hendra (Koordinator Divisi Advokasi dan Pelayanan Hukum ECPAT Indonesia), Maria Yohanista (Manager Project ECPAT Indonesia), Ermelina Singereta (Yayasan Parinama Astha) dan Rita Hastuti (Yayasan KAKAK Solo).

Vitria dalam pemaparannya menjelaskan “Psicological First Aid” dalam menangani kasus yakni Look (melihat/mengamati kasusnya seperti apa); Listen (mendengarkan kejadian); dan Link (menghubungkan dengan layanan yang dibutuhkan korban). Ia juga menjelaskan jenis-jenis korban, viktimisasi pada korban, serta hal-hal yang dilakukan pendamping pada korban, bagaimana mengenali perilaku.

Vitria juga menambahkan “Pendampingan Psikologis Korban” ia menyebutkan, bahwa aspek-aspek layanan psikososial Eksploitasi Seksual Anak (ESA) terdiri dari:

  • Faktor Resiko – Pengalaman Traumatis (anak yang mengalami kekerasan fisik);
  • Faktor Resiko – Perilaku (perilaku anak yang kecanduan NAPZA);
  • Faktor Resiko – Kondisi Psikologis Anak (contohnya: Tekanan psikologis, disregulasi emosi, gangguan psikologis,, locus control external, masalah kelekatan dan keterasingan).
  • Faktor Resiko – Psikososial (Lingkungan dengan kekerasan atau kekerasan yang tinggi).

“Situasi pandemi menambah resiko psikososial keluarga dan pengalaman kekerasan yang membuat anak semakin rentan untuk mengalami eksploitasi seksual”. Sementara itu, anak yang menjadi korban eksploitasi seksual, dapat berdampak pada psikologis, kesehatan, maupun perilakunya. Menariknya, Vitria juga menjelaskan terkait dengan traumatisasi seksual (kerentanan yang dialami oleh anak korban eksploitasi seksual anak). “Traumatisasi dibagi menjadi dua, yaitu Inhibisi dan Dishibisi. Inhibisi yaitu ketakutan pada anak apabila seseorang melihat seseorang yang mirip dengan pelaku. Sementara Dishibisi yaitu kecanduan yang dialami oleh anak terhadap aktivitas seksual yang pernah ia alami sebelumnya”, imbuhnya.

Pada pelatihan Rita Hastuti menjelaskan terkait pendampingan kesehatan. Ia menjelaskan hal-hal yang disiapkan untuk pendampingan kesehatan, yaitu:

  • Surat pengantar/surat rujukan
  • Untuk penanganan dalam kondisi darurat, bisa melakukan koordinasi terlebih dahulu agar mendapatkan layanan kesehatan. Sementara untuk penanganan lanjutan, tetap diperlukan surat rujukan dari lembaga yang merujuk.

“Pendampingan hukum dan hak korban perlu dilakukan kerjasama dalam proses penanganannya secara internal dengan para profesional seperti psikolog, paralegal, maupun advokat untuk membantu pemulihan pada korban serta penanganan kasus secara hukum pidana yang berlaku”.

Kemudian, sesi pelatihan dilanjutkan oleh Ahmad Sofian terkait pencabulan anak. Dalam paparan materinya, Ahmad Sofian menjelaskan bahwa alat bukti yang sah untuk menjadi saksi di pengadilan yaitu:

  • Saksi maupun korban;
  • Dokumen (surat yang dikeluarkan oleh otoritas);
  • Ahli (KUHAP); dan
  • Informasi/dokumen elektronik (Pasal 5 UU ITE).

“Untuk menjadikan seseorang sebagai tersangka ialah menyiapkan dua jenis alat bukti (dua saksi/korban dan dokumen) apabila proses Visum et Repertum tidak dilakukan sebagai upaya proses pembuktian”, pungkasnya.

Di hari terakhir pelatihan, materi pembiayaan penanganan kasus disampaikan oleh Rio Hendra. Ia menjelaskan bahwa pembiayaan selama proses hukum berlangsung melalui tahapan: Pelaporan polisi/Berita Acara Pemeriksaan (BAP)/Case Conference/Koordinasi Lintas Sektor. Pertimbangan pada pembiayaan kasus ialah:

  • Pemulihan kesehatan à apabila mendapati kasus dimana anak tersebut hamil/melahirkan/membesarkan bayi yang dikandungnya;
  • Pemulihan psikologis à mendapatkan layanan psikologis oleh para professional pemberi layanan.

penulis: Ade Hilman Maulana & Azzahra Qubais

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *