Nasib Pucuk Muda Desa Neglawangi

Neglawangi, Jawa Barat, Pada 17 – 19 Februari 2017, Save the Children bersama Youth Network on Violence againts Chilren yang terdiri dari KOMPAK Jakarta, Action #BreaktheChains, dan Aliansi Remaja Indonesia berkesempatan untuk berkunjung dan berdiskusi dengan remaja di Desa Neglawangi, Kabupaten Bandung,  mengenai tiga isu, yaitu pernikahan anak, kehamilan anak, dan partisipasi anak muda.

Desa Neglawangi merupakan daerah yang berada di pinggiran Kabupaten Bandung.  Terdiri dari 10 RW yang masing-masingnya memiliki jumlah penduduk sekitar 500 jiwa. Wilayahnya yang sebagian besar merupakan kebun teh yang dimiliki oleh negara membuat sebagian besar masyarakatnya berprofesi sebagai buruh pemetik teh. Selain itu, masyarakat juga menanam sayur sebagai penghasilan tambahan.

Di permukaan, kehidupan masyarakat Desa Neglawangi, Kabupaten Bandung tampak bersahaja dan sederhana. Namun dibalik kesederhanaannya, masyarakat Desa Neglawangi hidup dalam masalah kompleks.  Sebut saja permasalahan pernikahan anak, yang kenyataannya bukan hanya sekedar permasalahan dua orang yang jatuh cinta dan belum cukup umur untuk menikah ingin mensahkan hubungannya berdasarkan agama dan diakui banyak orang.  Berbicara pernikahan dan kehamilan anak di Desa Neglawangi berarti berbicara tentang akses pendidikan yang jauh, akses kesehatan yang serba minim, kepemilikan tanah yang sepenuhnya ada pada negara, birokrasi pengambilan keputusan oleh pemerintahan desa yang juga harus mempertimbangkan banyak pihak, keterbatasan kegiatan dan pekerjaan bagi remaja, dan perintah agama.

IMG_5660JPGOleh sebab-sebab itu, fasilitator dalam rapatnya mempertimbangkan banyak hal dalam menyampaikan susbtansi dan metode penyampaian materi. Di kantor Save the Children sendiri, tim dan fasilitator menyampaikan banyak ketakutan dan pertanyaan “Bagaimana jika?”.  “Bagaimana jika berbicara kesehatan reproduksi adalah sesuatu yang tabu?”, “Bagaimana jika penggunaan kata tertentu tidak dapat dimengerti?”, “Bagaimana jika mereka tidak tertarik?”, “Bagaimana jika peserta yang telah  menikah muda merasa dihakimi?”. Namun ketika fasilitator bertemu dengan 16 remaja Desa Neglawangi segala bentuk kekhawatiran terbukti salah.  Hanya dengan paham dan  menjadi bagian dari kearifan lokal, yaitu berbahasa sunda, fasilitator mendapat banyak realitas menarik bahwa ternyata keterbatasan informasi, fasilitas, dan sarana membuat mereka tidak paham bahaya pernikahan dan kehamilan di usia anak. Tentu saja,  ketidak pahaman remaja Desa Neglawangi tersebut membuat mereka rentan akan bahaya secara kesehatan dan emosional dari menikah dan hamil di usia anak.

a

Dok: Aliansi Remaja Independen

Misalnya saja, saat Y (21) menceritakan bagaimana teman perempuannya yang menikah usia anak dan telah memiliki seorang anak ditinggal oleh suaminya yang juga berusia anak. Namun anak yang ditinggalkan mengalami kesulitan karena tidak mendapatkan kekuatan hukum berupa akte kelahiran karena pernikahan orang tuanya tidak mendapatkan status hukum. Hal menarik lainnya yang ditemukan fasilitator, saat A (16) ditanyai oleh fasilitator apakah siap menikah diusia muda? Dengan tegas,  A menjawab “Ya menikah aja teh, masa orang tua dilawan. Nggak mau ah jadi anak durhaka.” A pasti betul ada dalam dilema, antara hidup dalam haknya sebagai anak yang seharusnya dipenuhi orang tua atau memenuhi kewajibannya sebagai anak kepada orang tua.

Setelah berhadapan dan berbagi dengan remaja Desa Neglawangi, fasilitator bertemu pemangku kebijakan desa. Bertukar pikiran tentang apa-apa saja yang baik dilakukan untuk menekan angka pernikahan anak dan kehamilan anak dan juga mendorong partisipasi remaja Desa Neglawangi. Dengan lugas, fasilitator merekomendasikan tiga poin penting yang didapat dari hasil diskusi bersama remaja Desa Neglawangi. Pertama, menunda usia kehamilan untuk pasangan yang menikah di usia anak. Kedua, meningkatkan kapasitas pengetahuan anak tentang kesehataan reproduksi dan resiko kehamilan di usia anak. Ketiga, mengadakan kegiatan konsular sebaya untuk meningkatkan kesadaran akan resiko menikah dan hamil diusia anak.

IMG_5669JPG

Dok: Save the Children

Diskusi tentang permasalahan paradoks di Desa Neglawangi ini berakhir pada permasalahan fundamental tentang hidup dan mati. Hal ini disebabkan menikah dan hamil di usia anak berarti memperbesar resiko dalam proses kehamilan dan melahirkan baik secara fisik maupun emosional. Sebelum fasilitator berkunjung ke Desa Neglawangi pun, fasilitator telah dipaparkan dengan angka kematian bayi yang menjadi perhatian.

Oleh karena itu, sebuah pernikahan bukan hanya tentang dua orang sebaiknya disatukan dalam  ikatan halal atas nama Tuhan tapi juga tentang bagaiamana dua orang siap bertanggung jawab atas kehidupan manusia lain nantinya dan bertanggung jawab kepada Tuhan.

Andi Atissa Puti Chaniago

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *