Jakarta, 2 Juli 2021 – Secara global, Indonesia menempati posisi 8 teratas di dunia dan peringkat kedua di ASEAN dalam kasus perkawinan anak. Masih maraknya praktik perkawinan anak dan meningkatnya tren perkawinan anak di Indonesia terutama selama pandemic COVID-19 mendorong KOMPAK Jakarta dan Cinta Anak Dunia berdiskusi bersama melalui Ngobrol Bareng Perkawinan Anak di Mata Anak Muda. Diskusi yang dilakukan melalui siaran langsung (live)Instagram ini disambut antusias 45 orang yang mengikuti hingga akhir diskusi.
Ngobrol bareng ini dipandu oleh Julinar Bhayangkari, leader corporate legal yang juga aktif dalam isu perlindungan anak dan Aktivis Cinta Anak Dunia. Diskusi ini menghadirkan Indah Fitria Annisa (Anggota Divisi SO KOMPAK Jakarta) dan Cornelia Agatha sebagai narasumber. Nama Cornelia Agatha tentu sudah tidak asing lagi karena peran yang ia bawakan sebagai Sarah dalam sinetron Si Doel Anak Sekolahan. Sebagai seorang aktris dan pengacara, Cornelia juga merupakan aktivis perlindungan anak dan pendiri sekaligus Ketua Perkumpulan Cinta Anak Dunia.
Berjalannya diskusi, Indah menyampaikan, “Batas minimum usia seseorang untuk menikah diatur dalam UU No. 16 Tahun 2019, dimana Undang-undang ini telah berlaku sejak 15 Oktober 2019. Undang-undang ini adalah perubahan atas UU No.1 Tahun 1974. Di dalamnya, telah jelas mengatur bahwa usia 19 tahun adalah usia minimum bagi kedua mempelai untuk melakukan perkawinan.” Selain itu, jika kedua calon mempelai belum mencapai usia yang ditetapkan oleh undang-undang dan tetap melangsungkan perkawinan maka keduanya harus mendapatkan izin kedua orang tua atau disebut dispensasi umur kawin dengan ketentuan alasan yang mendesak dan bukti-bukti pendukung yang cukup.
Perkawinan anak merupakan fenomena sosial yang kompleks dan sayangnya masih terjadi di masyarakat. Adapun penyebab dari perkawinan anak beragam mulai dari minimnya pendidikan dan menganggap pendidikan tidak penting, tradisi budaya, asumsi keliru bahwa menikah akan meringankan beban orang tua, normalisasi perkawinan dari publikasi media, hingga pergaulan bebas.
Semua peserta diskusi sepakat bahwa perkawinan anak harus dicegah karena dampaknya yang merugikan bagi anak-anak. Perkawinan anak menyebabkan berbagai macam masalah yang tidak bisa dihindari yakni, berdampak buruk pada kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia, anak mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan perkawinan anak menghambat agenda pemerintah seperti Program Keluarga Berencana (KB) dan Generasi Berencana (Genre) oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Secara ekonomi, pelaku pernikahan anak juga menghadapi tantangan karena tidak bisa mandiri secara finansial dan dalam jangka panjang sehingga berujung pada peningkatan pekerja anak, pekerja upah rendah, perceraian, pengangguran, dan kemiskinan. Tidak hanya itu, perkawinan anak juga berpengaruh pada kesehatan karena belum siap baik dari psikis maupun fisik.
Meski berdampak buruk, perkawinan anak masih saja terjadi di masyarakat. Hal ini, dikarenakan faktor ekonomi ataupun adanya tradisi yang masih melanggengkan perkawinan anak di masyarakat. Cornelia menambahkan bahwa pernikahan anak terjadi karena kurangnya pemahaman terkait konsep pernikahan yang menjadi penyebab praktik perkawinan anak. “Padahal perkawinan anak bukanlah solusi dan justru menambah masalah,” ujarnya. Maka dari itu, perlu bersama-sama untuk saling mengedukasi dan diperlukan peran multipihak mulai dari regulasi yang lebih tegas dari pemerintah mengenai dispensasi kawin, penguatan forum anak dan NGO dan peran orangtua. “Bila terjadi perkawinan anak yang dipaksa menikah, bisa melaporkan ke Layanan SAPA 129 KemenPPA,” tutur Indah.