Jakarta – Setiap tanggal 8 Maret, warga dunia merayakan dan memperingati Hari Perempuan Internasional sebagai momentum mengingatkan kembali masyarakat mengenai diksiriminasi yang dihadapi perempuan yang masih menjadi persoalan dan menuntut hak permpuan atas kesetaraan gender. Dibanyak belahan dunia, aktivis dari berbagai negara menyelenggarakan kegiatan sebagai aksi dalam kepedulian dan perjuangan atas isu perempuan. Begitu pula dengan Indonesia yang ikut serta dalam memperingati Hari Perempuan Internasional.
Pada 4 Maret 2017 lalu, diadakan kegiatab berupa Women’s March yang dimulai dari Sarinah dan berakhir di Istana Negara RI. Kegiatan ini diikuti oleh aktivis, tokoh publik, dan masyarakat yang mendukung dalam menyuarakan hak-hak perempuan dan kesetaraan gender. Sepanjang kegiatan long march ada banyak permasalahan dan tuntutan yang disuarakan melalui orasi-orasi oleh banyak pihak. Diataranya adalah hak perempuan diranah domestik sebagi assisten rumah tanngga, peremuan dan lingkungan, perkawinan anak, diskirimnasi terhadap kaum LGBT++, toleransi, dan keseteraan gender. Tuntutan ini kemudian dirangkum menjadi 8 Tuntutan Perempuan Indonesia untuk Peradaban yang Setara yang ditujuakan untuk pemerintah dan masyarakat Indoinesia.
Pada dasranya pendifinisian perempuan sebenarnya tidak ditentukan dari ia bervagina atau tidak, tetapi juga bagaimana ia memaknai dan mendifinisikan perasaan dan dirinya sebagai perempuan. Namun budaya patriarki dan heteronormatif membuat kita mendefinisikan perempuan menjadi sempit dan biner yang menyebabkan banyak diskiriminasi yang dialami oleh perempuan baik secara fisik, psikis, ekonomi, sosial, dan budaya. Diskiriminasi yang dialami perempuan tidak lepas dari bagaimana peran media membenuk opini publik mengenai budaya patriarki dan memposisikan perempuan sebagai kaum inferior. Pada kegiatan Women’s Mareh, Fisipers mencoba untuk mengumpulkan opini pelaku media yang hadir untuk meliput kegiatan tersebut.
Maria Sarjana yang merupakan reporter CNN Indonesia dengan tegas mengatakan bahwa media memiliki peran penting meningkat kesadaran masyarakat terutama laki-laki yang menjadi kaum mayoritas sebagai pelaku kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan. Selain itu, Maria juga menilai bahwa masih banyak media yang belum berani dan bersikap tegas menyuarakan sitem budaya patriaki dan konstruksi sosial yang mendeskreditkan peran perempuan dalam berbagai level baik dari ranah domestik hingga kebijakan.
Selain itu, media juga dinilai sering kali menguatkan stereotip masyarakat kepada perempuan yang menjadi janda dan belum menikah diusia yang dianggap patut menikah. Media juga masih gencar membentuk konstruksi cantik yang sempit seperti berkulit putih, berambut lurus, langsing, dan tinggi.
Sebagai bagian dari media kampus, David dari Universitas Multimedia Nusantar Jurnalistik Center berpedapat bahwa sebaiknya media ikut berperan aktif dalam menyuarakan isu perempuan dan intolerasi karena isu ini sangat akrab bagi masyarakt luas. Namun david juga menyatakan bahwa media sebaiknua juga mampu melihat isu ini dari dua sisi sehingga tidak terjadi ketimpangan dan keberpihakan sebagaimana dasar jurnalistik yaitu Cover Both Side.
Oleh karena itu, media sebagai salah satu pihak yang berada di garis terdepan dalam membentuk opini publik sebaiknya dapat bersikap bijak dalam menyuarakan isu perempuan dan toleransi sebagai dasar dalam kemanusia. Karena sebagai sebuah negara, Indonesia seharusnya menjadi negara yang terbuka dan toleran terhadap perbedaan sebagaimana yang telah diatur dalam konstitusi negara. Selain dari itu, sudah menjadi tugas kita sebagai manusia untuk memanusiakan manusia lainnys secara manusiawi.
Penulis: Andi Atissa Puti Chaniago
Foto: Abdurrachman Wisnu Mahardi