Anak Muda Sulawesi Selatan perlu Angkat Suara untuk Isu Eksploitasi Seksual Komersial Anak

ESKA dan Permasalahannya

Masalah anak yang menjadi korban Eksploitasi Seksual Komersial Anak (atau disebut ESKA) adalah masalah yang amat kompleks, baik jumlah anak yang dilibatkan / dieksploitasi, kemiskinan, masalah penyakit kelamin, masalah perlindungan anak, sampai pada penggunaan istilah dan cara pandang yang semakin menyudutkan dan merugikan anak.

Peningkatan jumlah anak korban ESKA di Indonesia mulai teramati sejak tahun 1992, dan tampaknya kini telah mencapai tingkat yang merisaukan. Anak korban ESKA, atau oleh media massa dan masyarakat disebut “anak yang dilacurkan” terjadi di hampir dua pertiga wilayah Indonesia. Dari Sumatera hingga Irian Jaya, dari Sulawesi Utara hingga kepulauan Nusa Tenggara. Mereka dapat ditemui mulai dari lokalisasi resmi hingga di hotel berbintang, taman, plaza, cafe/diskotik, jalanan tempat ABG (Anak Baru Gede) berkumpul, baik di kota besar maupun kota kecil.

Menurut Laporan Situasi Anak dan Perempuan dari UNICEF (2004), anak di bawah usia 18 tahun  yang tereksploitasi secara seksual dilaporkan mencapai 40-70 ribu anak. Sementara itu, menurut Pusat Data dan Informasi CNSP Center, pada tahun 2004, terdapat sekitar 75.106 tempat pekerja seks komersial yang terselubung ataupun yang “terdaftar”. Bahkan, diperkirakan 30% dari penghuni rumah bordil di Indonesia adalah perempuan berusia 18 tahun ke bawah atau setara dengan 200-300 ribu anak-anak. Di Malaysia dilaporkan terdapat  6.750 pekerja seks komersial (PSK). 62,7 % dari Jumlah  PSK tersebut  berasal dari Indonesia atau sekitar 4.200 orang dan 40% dari jumlah tersebut adalah anak-anak berusia antara 14-17 tahun. Meski data tersebut merupakan data lama, namun tidak menutup kemungkinan angka tersebut masih tinggi hingga saat ini.

Daerah pengirim perdagangan anak untuk tujuan eksploitasi seksual komersial tersebut umumnya adalah dari daerah-daerah kantong kemiskinan, seperti Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sumatera Utara, Sumatra Barat, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Selatan. Sedangkan daerah penerima atau transit di Indonesia adalah kota-kota besar, kota industri, daerah wisata seperti Lombok, Bali, Batam dan daerah wisata lainnya. Di Luar Indonesia negara penerima atau tujuan (destination) adalah Singapura, Malaysia, Thailand, Hongkong, Arab Saudi, Taiwan , Australia bahkan Eropah Timur.

Sementara itu, aktor-aktor yang terlibat dalam perdagangan anak adalah keluarga, teman, agen perantara pengiriman tenaga kerja, agen pemerintah antara lain dalam pembuatan KTP, paspor palsu maupun organisasi sindikat seks komersial, pedofile dan distributori narkoba. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi masalah ini adalah tiadanya akte kelahiran, perkawinan usia muda, pekerja migran, kekerasan terhadap perempuan, juga dampak dari  konflik sosial, eknik dan konflik bersenjata yang berlangsung di beberapa daerah.

Bentuk-bentuk dari kegiatan Seksual Komersial terhadap anak, baik  Deklarasi Kongres Dunia Menentang Eksploitasi Seksual Komersial terhadap anak maupun ketentuan KHA dan UU Perlindungan Anak  mendefinisikan bahwa eksploitasi seksual komersial terhadap anak  meliputi kegiatan penyalahgunaan seksual anak oleh orang dewasa dengan cara  paksa (coercion), pemberian uang atau sejenisnya kepada anak yang bersangkutan ataupun kepada pihak ketiga,  anak dijadikan sebagi objek seks serta objek komersial. Eksploitasi seksual Komersial anak juga dapat dilihat dalam   bentuk paksaan serta kekerasan terhadap anak-anak, dalam bentuk kerja paksa dan bentuk perbudakan modern (comtemporary form of Slavery).

Dalam merespon kasus-kasus perdagangan anak untuk tujuan Eksploitasi Seksual Komersial,  Kantor Komisi Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Unicef, Organisasi International untuk Migran (IOM) dan organisasi international ECPAT    (End Child Prostitution in Asia Tourism) memberikan definisi yang luas dan menyeluruh tentang perdagangan anak ( child trafficking). Definisi perdagangan tersebut memuat rujukan khusus tentang trafficking sebagai kegiatan yang mengandung perekrutan (recruitmen), pengangkutan (transportation), Pengiriman (transfer), pemberian perlindungan (harboring) atau penerimaan (receipt) atas siapapun dengan menggunakan ancaman atau kekerasan, paksaan, penculikan, pemalsuan, penipuan, atau penyalagunaan kekuasaan untuk tujuan perbudakan, kerja paksa termasuk kerja yang terikat atau karena tujuan perbudakan. Dengan demikian, apabila unsur-unsur yang menjadi rujukan telah terpenuhi, maka kegiatan tersebut dapat dikategorikan sebagai perdagangan anak, baik untuk keperluan eksploitasi seksual maupun eksploitasi ekonomi.

Melihat Sulawesi Selatan

Kasus eksplotasi mendominasi 1.886 laporan kasus terkait perempuan dan anak di Sulawesi Selatan pada tahun 2016. Seluruh laporan itu dicatat 10 dari 24 kabupaten/kota yang ada, berdasarkan Harian Rakyatku edisi 10 Februari 2017. Masih ada sekitar 14 daerah yang belum melaporkan kasus kinerjanya ke Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Sulsel. Khusus yang terlapor dan ditangani oleh provinsi ada 72 kasus, yang telah selesai sudah 80 persen. Sisanya masih berproses. DPPPA Sulsel melakukan pendampingan kasus-kasus tersebut sampai dengan keluarnya vonis.

Selain eksploitasi, kasus penelantaran dan seksual turut merajai jumlah laporan yang diterima, sisanya diisi kasus kekerasan fisik pada anak dan perempuan. Tren pelaporan kasus yang meningkat dari tahun-tahun sebelumnya, bukan karena jumlah kekerasan yang semakin banyak, tetapi juga karena kesadaran masyarakat untuk melapor juga semakin meningkat.

Perilaku eksploitasi seksual anak sebelumnya tidak dipahami masyarakat. Namun dengan pemahaman yang baik, masyarakat dinilai semakin sensitif melapor jika melihat sesuatu yang tidak sesuai. Semakin terbukanya saluran pengaduan, kemungkinan akan semakin meningkat yang terlaporkan.

Isu ESKA adalah Tanggungjawab Bersama

Untuk pencegahan dan perlindungan terhadap kasus-kasus Eksploitasi Seksual Komersial terhadap Anak, selain peran pemerintah dalam hal ini Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dan Kementerian Sosial sebagai leading sector yang berkonsentrasi terhadap pencegahan dan penanganan, perlu diimbangi dan dilengkapi dengan upaya nyata dan tegas, dari peran masyarakat, terutama orang muda yang memiliki pola pendekatan unik untuk mendorong kesadaran terhadap sesamanya serta berbagai lapisan masyarakat, seperti:

  • Menentang eksploitasi seksual komersial anak dengan mengadakan kampanye kreatif untuk memberikan edukasi atau meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai isu ESKA
  • Meningkatkan kerjasama yang lebih mantap antar organisasi orang muda, LSM, pemerintah, dan semua sektor masyarakat untuk mencegah anak-anak memasuki perdagangan seks serta agar memperkuat peran serta keluarga dalam melindungi anak-anak dari eksploitasi seksual komersial.
  • Mengadakan berbagai bentuk dialog mengenai eksploitasi seksual komersial anak, dan bentuk-bentuk lain dari eksploitasi seksual anak, dengan melibatkan warga lokal maupun asing
  • Melakukan berbagai dialog dengan penegak hukum, pemangku kebijakan, berkolaborasi dalam program-program yang melindungi anak-anak dari eksploitasi seksual komersial dan memperkuat komunikasi dan kerjasama dengan pihak penegak hukum, mendorong penerapan, implementasi serta diseminasi Undang-undang Perlindungan Anak.
  • Melakukan peningkatan kapasitas (capacity building) ke sekolah-sekolah maupun perguruan tinggi, mengajak orang muda lainnya untuk mengetahui lebih jauh mengenai pencegahan prostitusi anak, pornografi anak, dan kebijakan terkait seperti Konvensi transnational organized Crime beserta dua protokolnya, yakni protokol tentang pencegahan dan penanggulangan perdagangan perempuan dan protokol penyelundupan orang.
  • Sebagai orang muda yang aktif dalam organisasi intra sekolah atau kampus atau lingkungan masyarakat, perlu mendukung terciptanya iklim pendidikan, mobilisasi sosial, juga aktivitas pengembangan untuk menjamin agar guru dan orang tua bertanggung jawab atas anak-anak untuk memenuhi hak-hak anak, kewajiban dan tanggungjawab untuk melindungi anak-anak dari eksploitasi seksual komersial;
  • Di tingkat yang lebih tinggi, dapat melakukan pendekatan dengan mitra politik, masyarakat nasional maupun internasional, termasuk lembaga pemerintah dan LSM, untuk membantu menghapus segala bentuk eksploitasi seksual komersial anak serta memacu peran partisipasi masyarakat yang populer, termasuk partisipasi anak-anak, dalam mencegah serta menghapus eksploitasi seksual komersial anak. Banyak cara yang dapat dilakukan generasi millenial, yang sehari-hari bersentuhan dengan teknologi ataupun media sosial.
  • Melakukan dialog dan mobilisasi dengan sektor bisnis, termasuk industri wisata, untuk menentang penggunaan jaringan dan pembentukannya bagi eksploitasi seksual komersial anak dan mendorong kalangan profesional, media untuk mengembangkan strategi yang memperkuat peran media dalam memberikan informasi yang bermutu, bisa dipercaya serta standar etika yang mencakup semua aspek eksploitasi seksual komersial.

 

Derry Fahrizal Ulum

Ketua KOMPAK JAKARTA Batch II

National Consultant at UNICEF Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *